Isu etika dan geopolitik yang sangat sensitif. Menjajah, dalam pengertian modern, bukan hanya berarti pendudukan fisik seperti masa kolonial, tapi bisa juga terjadi dalam bentuk dominasi ekonomi, budaya, atau informasi melalui media digital.

Untuk memperjelas, berikut adalah cara-cara dominasi (bukan penjajahan fisik) yang bisa dilakukan suatu negara atau kekuatan melalui sosial media dan internet—dan mengapa ini perlu dipahami secara kritis agar tidak disalahgunakan:

1. Dominasi Informasi dan Opini Publik (Propaganda Digital)
Negara atau pihak tertentu dapat menyebarkan narasi yang menguntungkan mereka melalui media sosial.

Digunakan oleh negara besar untuk mempengaruhi opini masyarakat di negara lain, termasuk negara miskin.

Contoh: penggunaan bot, troll farm, dan disinformasi untuk memecah belah masyarakat atau mengubah persepsi terhadap pemerintah lokal.

2. Ekspansi Budaya Melalui Konten
Budaya populer (musik, film, gaya hidup) disebarluaskan melalui platform global seperti YouTube, TikTok, Instagram.

Hal ini secara tidak langsung bisa mengikis budaya lokal dan membuat negara berkembang menjadi pasar pasif yang hanya mengonsumsi.

3. Ketergantungan Teknologi
Negara besar menguasai platform digital seperti Google, Meta, X (dulu Twitter), TikTok, dll.

Negara tidak mampu menjadi sangat tergantung dan tidak punya kontrol atas data warganya sendiri.

4. Ekonomi Digital yang Tidak Setara
Startup atau e-commerce dari negara maju masuk ke negara berkembang, mengambil pasar lokal tanpa harus berinvestasi besar di dalam negeri. Uang keluar, sementara negara miskin tidak mendapat banyak manfaat jangka panjang.

media juga bisa mempercepat kehancuran sebuah bangsa, seperti beberapa negara telah mengalami krisis politik, sosial, atau keamanan yang diperparah oleh peran media sosial,
meskipun tidak sepenuhnya “hancur” dalam arti literal. Berikut beberapa contoh:

1. Myanmar (Rohingya Genocide, 2016–2017)
Media Sosial Terlibat: Facebook

Dampak: Facebook digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian terhadap minoritas Rohingya, memperburuk kekerasan dan eksodus ratusan ribu orang. PBB menyebut peran
media sosial “substantif” dalam genosida ini.

2. Amerika Serikat (Pemilu 2016, Capitol Riot 2021)
Media Sosial Terlibat: Facebook, Twitter, YouTube, dll.

Dampak: Disinformasi dan teori konspirasi seperti QAnon menyebar luas, memicu kerusuhan Capitol 6 Januari 2021. Polarisasi politik meningkat tajam.

3. Sri Lanka (Kerusuhan Anti-Muslim, 2018–2019)
Media Sosial Terlibat: Facebook, WhatsApp

Dampak: Kabar bohong menyebar cepat, memicu kekerasan antarkelompok etnis dan agama. Pemerintah sempat memblokir media sosial selama kerusuhan.

4. Ethiopia (Perang Tigray, 2020–2022)
Media Sosial Terlibat: Facebook

Dampak: Ujaran kebencian dan disinformasi digunakan untuk memicu kekerasan dan konflik etnis. Meta digugat karena dianggap lalai.

5. Indonesia (Hoaks dan Polarisasi Pemilu)
Media Sosial Terlibat: WhatsApp, Facebook, Twitter

Dampak: Penyebaran hoaks, fitnah politik, dan ujaran kebencian sangat intens selama Pemilu 2014 dan 2019. Meningkatkan fragmentasi sosial.

Dalam dunia politik digital modern, strategi seperti itu dikenal dengan istilah:

“False Flag Strategy”
Menyebarkan fitnah terhadap diri sendiri atau kubu sendiri dengan tujuan menciptakan simpati, perhatian publik, dan viralitas — lalu “membalikkan narasi” untuk keuntungan politik.

Bagaimana Cara Kerjanya?
Tim sukses diam-diam menciptakan hoaks atau fitnah terhadap tokoh mereka sendiri.

Mereka biarkan hoaks itu menyebar, bahkan bisa “bocor” ke grup lawan.

Setelah viral, mereka tampil seolah jadi korban fitnah atau serangan tidak adil.

Publik simpati. Media meliput. Hasil akhirnya: elektabilitas justru naik.

Strategi ini disebut juga sebagai “victim marketing” dalam konteks politik — menciptakan drama agar rakyat merasa “terpanggil membela”.

Ini Terjadi di Indonesia
Beberapa analis meyakini bahwa:

Pada Pemilu 2014 dan 2019, beberapa akun penyebar hoaks terhadap kandidat tertentu ternyata berafiliasi ke tim suksesnya sendiri.

Narasi korban fitnah selalu mendapat engagement tinggi di media sosial Indonesia.

Buzzing kemarahan dan emosi terbukti lebih cepat viral daripada konten rasional.

Namun, bukti langsung sulit didapat karena praktik ini sangat terselubung dan menggunakan akun-akun anonim yang rata-rata follower nya 0 dan terkordinasi seperti pasukan setingkat kompi.

Media sosial tidak sepenuhnya “menghancurkan” negara, namun bisa menjadi alat yang sangat berbahaya jika tidak dikelola dengan etika, regulasi, dan literasi digital
yang kuat.

perlu diingat, Pra-invasi Irak (sebelum 2003): Era Pra-Media Sosial Sebelum invasi AS tahun 2003:

Irak berada di bawah rezim otoriter Saddam Hussein.

Kendali informasi sangat ketat — internet nyaris tidak tersedia untuk umum.Komunikasi terbatas pada media pemerintah, radio AM/FM, dan telepon rumah.

Belum ada media sosial seperti yang kita kenal sekarang (Facebook lahir 2004, Twitter 2006, Blackberry Messenger baru populer global sekitar 2007).

Pasca-invasi: Vakum Kekuasaan Bertemu Era Digital

Setelah 2003:Irak memasuki era transisi kekuasaan yang kacau dan penuh konflik sektarian. Saat itulah dunia memasuki ledakan media sosial: Facebook,
Twitter, YouTube muncul dan mulai diakses oleh masyarakat Irak.

Terjadi “digital leapfrog”: negara dengan infrastruktur fisik hancur tiba-tiba masuk ke ruang digital tanpa kesiapan sosial maupun etika,akibatnya:
Kelompok ekstrem seperti ISIS sangat efektif memanfaatkan media sosial.Radikalisasi, propaganda, dan koordinasi kekerasan terjadi lintas batas tanpa sensor.
Irak menjadi salah satu negara pertama yang dihancurkan secara “fisik + digital” secara bersamaan.

Catatan Penting:
Irak tidak hancur karena media sosial, tetapi media sosial mempercepat kehancuran pada tubuh negara yang sudah lumpuh.
Etika dan Solusi
Alih-alih “menjajah”, pendekatan yang etis adalah membantu negara tidak mampu mengembangkan kemandirian digital, seperti:

Edukasi digital literasi, Dukungan infrastruktur IT lokal, Kebijakan perlindungan data, Mendorong ekosistem konten dan aplikasi buatan lokal seperti Play.televisiku.com

Kesimpulan
Strategi menciptakan fitnah terhadap diri sendiri bukan hanya mungkin, tapi terbukti efektif dalam ekosistem digital yang haus drama. Media sosial tidak peduli siapa benar atau salah — yang penting siapa yang bisa memanfaatkan emosi publik lebih dulu. bijaklah dalam mencemati dunia sosial media. apakah kita sudah berdaulat dalam digital?

sumber literasi :
1. Laporan PBB dan Human Rights Watch
UN Fact-Finding Mission on Myanmar (2018)
“Facebook has been a useful instrument for those seeking to spread hate in a context where for most users, Facebook is the Internet.”
Sumber: OHCHR Myanmar Report
Human Rights Watch – Sri Lanka: New Evidence of Facebook’s Role in Violence
Sumber: HRW Sri Lanka Report

2. Jurnal Akademik dan Riset Teknologi
“The Weaponization of Social Media” – Brookings Institute (2019)
Sumber: Brookings.edu
“How Facebook Failed the Rohingya” – The New York Times & Amnesty International
Amnesty: amnesty.org/en/documents/ASA16/8630/2018/en

3. Meta (Facebook) Internal Reports & Leaks
Facebook Papers Leak oleh Frances Haugen (2021)
➤ Diungkapkan bahwa Facebook menyadari kontennya memicu konflik di Ethiopia dan Myanmar tapi tidak mengambil tindakan memadai.
➤ Sumber: [The Guardian / NYT / Washington Post coverage]

4. Laporan & Investigasi Jurnalisme Independen
New York Times, BBC, Reuters, Al Jazeera, Vice
Banyak laporan investigatif terkait:
Kekerasan di Ethiopia akibat ujaran kebencian di Facebook
Polarisasi politik di AS & Indonesia karena hoaks digital
Peran bot dan troll dalam kampanye politik digital

5. Studi Lokal (Indonesia)
Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia)
➤ Rilis laporan tahunan hoaks selama masa Pemilu 2014 dan 2019.
➤ Website: www.turnbackhoax.id
Kajian dari Kominfo RI dan UI/UGM/UNPAD
➤ Menjelaskan peran WhatsApp group, buzzer, dan filter bubble dalam politik elektoral.

Comments are closed