Visi Jauh ke Depan untuk Media di Indonesia

Ketika berbicara tentang media di Indonesia, khususnya televisi, kita tidak bisa lepas dari peran dan visi besar Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Bung Karno bukan hanya seorang pemimpin revolusi politik dan kebangsaan, tetapi juga seorang pemikir strategis dalam membangun identitas bangsa melalui media, termasuk televisi. Pemikiran Bung Karno tentang televisi mencerminkan pandangan yang visioner dan jauh ke depan, di mana televisi tidak sekadar dianggap sebagai alat hiburan, tetapi sebagai instrumen penting untuk membangun karakter bangsa, melestarikan budaya, dan memperkuat identitas nasional.

Lahirnya Televisi Indonesia di Tangan Bung Karno
Televisi pertama kali hadir di Indonesia berkat dorongan dan arahan langsung dari Bung Karno. Perjalanan televisi Indonesia dimulai pada 24 Agustus 1962, dengan berdirinya  Televisi Republik Indonesia (TVRI) di Jakarta, yang bertepatan dengan momentum besar: Asian Games IV. Bung Karno memandang perhelatan ini sebagai kesempatan emas untuk memperkenalkan Indonesia kepada dunia, bukan hanya sebagai negara yang baru merdeka, tetapi sebagai bangsa yang berdaulat dengan kekayaan budaya yang luar biasa.

Bung Karno menyadari bahwa televisi memiliki daya pengaruh yang besar. Melalui televisi, informasi dapat menjangkau seluruh pelosok negeri, menyatukan masyarakat dari Sabang sampai Merauke, dan memperkuat rasa kebersamaan dalam keberagaman. Televisi juga dianggap sebagai medium strategis untuk menampilkan keindahan dan kekayaan budaya Indonesia ke mata dunia, membuktikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan memiliki identitas yang kuat.

Televisi Sebagai Alat Pendidikan dan Pemersatu Bangsa
Bung Karno memiliki pandangan bahwa televisi bukan hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat pendidikan dan pemersatu bangsa. Dalam berbagai pidatonya, Bung Karno sering menekankan pentingnya menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan semangat gotong royong di tengah masyarakat. Televisi dianggap sebagai medium yang paling efektif untuk menyebarkan pesan-pesan kebangsaan dan memperkenalkan keberagaman budaya Indonesia kepada seluruh rakyat.

Melalui program-program televisi, masyarakat bisa mengenal tarian tradisional dari berbagai daerah, mendengarkan musik daerah, menyaksikan pertunjukan seni tradisional, hingga memahami filosofi hidup masyarakat Indonesia. Bung Karno ingin televisi menjadi jembatan antarbudaya yang mempererat persatuan, bukan alat untuk meniru atau mengadopsi budaya asing.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya sendiri.”
Ir. Soekarno

Kalimat ini mencerminkan betapa besar perhatian Bung Karno terhadap pelestarian budaya. Televisi, dalam pandangannya, harus menjadi alat untuk menjaga dan melestarikan budaya lokal, bukan sekadar mengadopsi gaya hidup dan konten dari luar negeri.

Menghadang Pengaruh Budaya Asing melalui Televisi
Bung Karno sangat menyadari ancaman imperialisme budaya yang dapat masuk melalui media massa, termasuk televisi. Pada masa awal perkembangan televisi, banyak negara berkembang yang mulai mengadopsi budaya barat dalam format dan isi program televisi mereka. Bung Karno menolak keras ketergantungan pada budaya asing dan menekankan pentingnya menciptakan konten yang mencerminkan nilai-nilai budaya Indonesia.

Dalam berbagai kesempatan, Bung Karno mengingatkan bahwa televisi di Indonesia harus memiliki jati diri nasional. Program-program televisi harus dipenuhi dengan unsur-unsur kebudayaan lokal seperti wayang, gamelan, tari tradisional, lagu daerah, dan kisah-kisah sejarah perjuangan bangsa. Dengan cara ini, televisi diharapkan dapat menjadi sarana edukasi yang memperkuat rasa cinta tanah air dan memperkenalkan keunikan budaya Indonesia kepada dunia.

Televisi Sebagai Sarana Perjuangan Diplomasi Budaya
Selain menjadi alat pendidikan dan pemersatu bangsa, Bung Karno juga memandang televisi sebagai instrumen diplomasi budaya. Melalui program televisi, Indonesia dapat memperkenalkan kekayaan budaya kepada dunia internasional.

Bung Karno ingin dunia melihat Indonesia bukan hanya sebagai negara berkembang, tetapi sebagai negara dengan warisan budaya yang kaya dan unik. Karena itu, TVRI pada masa awal banyak menyiarkan program-program yang menampilkan kebudayaan lokal seperti pertunjukan wayang kulit, tari Bali, musik tradisional, dan film-film bertema sejarah perjuangan bangsa.

Dengan menonjolkan keunikan budaya Indonesia di televisi, Bung Karno berharap Indonesia akan mendapatkan pengakuan dunia sebagai bangsa yang besar dan memiliki peradaban tinggi. Televisi menjadi salah satu cara untuk mengukuhkan posisi Indonesia di kancah internasional, tidak hanya dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang budaya.

Warisan Pemikiran Bung Karno dalam Televisi Indonesia
Visi Bung Karno tentang televisi sebagai alat pendidikan, pemersatu bangsa, dan diplomasi budaya masih relevan hingga saat ini. Meskipun perkembangan teknologi telah mengubah lanskap media dengan hadirnya internet dan platform digital, nilai-nilai dasar yang diusung Bung Karno tetap menjadi fondasi penting bagi dunia penyiaran di Indonesia.

Program-program televisi yang menonjolkan kearifan lokal, seni tradisional, dan kisah-kisah perjuangan bangsa merupakan cerminan dari cita-cita Bung Karno. Peran televisi dalam memperkuat identitas nasional di tengah arus globalisasi merupakan tantangan yang harus terus dihadapi oleh industri penyiaran Indonesia.

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan budaya melalui media. Pemikiran Bung Karno yang jauh ke depan tentang televisi mengajarkan bahwa televisi bukan sekadar alat hiburan, tetapi juga alat perjuangan untuk mempertahankan jati diri bangsa dan memperkuat kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.

“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”
 Ir. Soekarno

Pemikiran ini menjadi pengingat bahwa televisi memiliki peran strategis dalam membentuk identitas dan karakter bangsa. Dengan terus menghidupkan cita-cita Bung Karno dalam dunia penyiaran, Indonesia dapat menghadapi tantangan global tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa yang besar dan berbudaya.

dan catatan sejarah mengenai pendirian dan perkembangan televisi di Indonesia. Beberapa sumber rujukan yang menjadi dasar penulisan artikel ini di antaranya:

  1. Pidato Bung Karno – Termasuk pidato pada peresmian TVRI (24 Agustus 1962) dan pidato tentang kebudayaan dan identitas nasional.

  2. Buku-buku tentang Bung Karno – Seperti “Revolusi Belum Selesai” (kumpulan pidato dan tulisan Bung Karno) dan “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat” karya Cindy Adams, yang memuat pandangan Bung Karno tentang pentingnya menjaga identitas budaya dalam menghadapi pengaruh asing.

  3. Sejarah TVRI – Dokumentasi mengenai berdirinya TVRI sebagai televisi nasional pertama di Indonesia, termasuk latar belakang politik dan kebudayaan di masa itu.

  4. Pemikiran tentang Imperialisme Budaya – Bung Karno secara tegas menyatakan sikap menolak imperialisme budaya dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam pidato-pidato kenegaraan dan wawancara.

  5. Peran Media dalam Nasionalisme – Pandangan Bung Karno tentang bagaimana media massa, termasuk televisi, dapat menjadi instrumen untuk memperkuat rasa cinta tanah air dan memperkenalkan keunikan budaya Indonesia kepada dunia.

mari kita para insan kreator, saatnya kita berjuang melanjutkan cita-cita anak bangsa yang Universal demi keberlanjutan BUDAYA BANGSA bersama televisiku.com, Pemikiran ini menjadi fondasi penting dalam perkembangan dunia penyiaran di Indonesia. Meskipun teknologi dan lanskap media telah berubah dengan hadirnya platform digital, nilai-nilai dasar yang ditekankan Bung Karno tentang televisi sebagai alat perjuangan budaya dan identitas bangsa tetap relevan hingga saat ini. Untuk itu, menjaga jati diri nasional melalui televisi dan media digital adalah bentuk nyata dalam mewujudkan cita-cita Bung Karno sebagai bangsa yang besar dan berbudaya.

apakah media televisi yang sekarang melanjutkan pemikiran Bung Karno?…

sedikit cerita tentang dibalik cerita dari Peci Presiden RI pertama :
Ir Soekarno menyimpan sejumlah kisah menarik menjelang Idul Fitri.
Meskipun seorang Presiden, Bung Karno ternyata tidak beda dengan rakyat biasa ketika menghadapi Lebaran.

Menjelang Lebaran, sang Proklamator menemui mantan Menteri Luar Negeri DR. Roeslan Abdulgani untuk dicarikan uang.

‘Cak, tilpuno Anang Thayib, kondo’o nek aku gak duwe dhuwik,’ kata Bung Karno…
(Cak, teleponkan Anang Thayib, beritahu kalau aku tak punya uang).

Anang adalah keponakan Roeslan, tinggal di Gresik, seorang pengusaha peci (kopiyah) merek Kuda Mas yang sering dikenakan oleh Soekarno.

‘Beri aku satu peci bekasmu, saya akan lelang,’ kata Roeslan Abdulgani.

‘Bisa laku berapa, Cak..?’ tanya Soekarno.

‘Wis ta laa, serahno ae soal iku nang aku.
Sing penting beres,’ sahut Roeslan.
(Sudahlah, serahkan saja soal itu pada saya yang penting beres).

Roeslan lalu menyerahkan kepada Anang satu peci yang bekas dipakai Soekarno.

Roeslan kaget, ternyata jumlah peserta lelang begitu banyak, semuanya pengusaha asal Gresik dan Surabaya.
Tapi yang membuatnya sangat terkejut ternyata Anang melelang tiga peci.

‘Saudara-saudara,’ kata Anang.
‘Sebenarnya hanya satu peci yang pernah dipakai Bung Karno.
Tetapi saya tidak tahu lagi mana yang asli bekas Bung Karno.
Yang penting ikhlas atau tidak..?’

‘Ikhlas..!!!’ seru para peserta lelang antusias.

‘Alhamdulillah,’ sahut Anang.

Zakat Fitrah Bung Karno.

Dalam waktu singkat terkumpul uang sepuluh juta rupiah. (kala itu sangat besar nilainya).
Semua uang itu segera diserahkan Anang kepada Roeslan.

‘Hei…asline lak siji se,’ kata Roeslan.
(Yang asli cuma satu kan..?).

‘Iyaa…sebenarnya dua peci lainnya itu yang akan saya berikan untuk Bung Karno,’ kata Anang.

‘Tapi kok kedua peci itu jelek..??’

‘Memang sengaja saya buat jelek.
Saya ludahi, saya basahi, saya kasih minyak, supaya kelihatan bekas dipakai,’ sahut Anang.

‘Koen iki kurang ajar Nang, mbujuki wong akeh,’ Roeslan ekting ngamuk.
(Kamu kurang ajar Nang Nang…nipu banyak orang).

‘Nek gak ngono gak oleh dhuwik akeh,’ enteng saja Anang menjawabnya.
(Kalau nggak begitu mana mungkin bisa dapat banyak uang).

Roeslan kemudian menyerahkan semua uang hasil lelang kepada Soekarno.

‘Cak, kok akeh men dhuwike…??’ Bung Karno kaget. (Banyak banget uangnya).

‘Iku akal-akalane Anang,’ jelas Roeslan.
(Itu semua akal-akalan Anang).

Roeslan pun menceritakan bagaimana cara Anang mengganda kan peci.

‘Kurang ajar Anang..!
Nek ngono sing duso aku apa Anang..??’ tanya Bung Karno.
(Kalau begitu yang berdosa saya atau Anang ?).

‘Anang…’singkat saja sahutan Roeslan.

‘Dhuwik sakmono akehe jange digawe apa Bung..?’ tanya Roeslan.
(Uang begitu banyak sebenarnya akan digunakan untuk apa Bung..?).

‘Gawe Zakat Fitrahku…’

‘Gowoen kabeh dhuwik iki nang Makam Sunan Giri.
Dumno nang wong-wong melarat nok kono,’ kata Bung Karno.
(Untuk Zakat Fitrahku. Bawa semua uang ini ke Makam Sunan Giri. Bagikan pada orang-orang miskin di sana…..’ jawab Soekarno).

Cerita ini dipetik dari Buku Suka Duka Fatmawati Sukarno sebagaimana diceritakan kepada Kadjat Adrai (wartawan Sinar Harapan, kakak Teguh Esha, penulis novel top tahun 70-an: Ali Topan Anak Jalanan)

Comments are closed