Etika Digital dan Pelajaran bagi Indonesia:
Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Ia hadir sebagai ruang untuk berkomunikasi yang terkini, mencari hiburan, hingga belajar. Namun, di balik segala kemudahan dan inovasi, media sosial juga menyimpan sisi gelap—terutama saat etika tidak lagi menjadi pijakan. Ujaran kebencian, perundungan siber, hoaks, hingga radikalisme digital kini bertebaran di jagat maya.
Sebagai salah satu negara dengan jumlah pengguna media sosial terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan besar. Sayangnya, kemajuan digital kita belum sepenuhnya mencerminkan jati diri bangsa yang beradab. Justru sebaliknya, konten provokatif, tak mendidik, bahkan merusak nilai budaya seringkali lebih cepat viral, seolah tak ada batasan.

Algoritma Tak Punya Nurani, Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Konten yang memicu emosi—baik marah, penasaran, maupun tawa—dianggap lebih “menarik” oleh algoritma. Akibatnya, konten vulgar, ekstrem, atau kontroversial justru punya peluang lebih besar untuk viral. Bukan karena konten tersebut berkualitas, tapi karena ia mampu memancing reaksi.
Dalam ekosistem seperti ini, para kreator akhirnya terdorong mengejar sensasi demi uang dan popularitas. Tanpa rambu etika yang kuat, mereka memilih jalan pintas—meski harus mengorbankan nilai edukasi dan moral publik, terutama bagi generasi muda.
Namun, fenomena ini bukan semata kesalahan individu. Banyaknya penikmat konten dangkal bukan berarti masyarakat Indonesia rusak. Justru ini cermin dari lemahnya sistem pendidikan digital dan absennya perlindungan nilai dalam dunia maya. Kita belum punya pagar yang kuat untuk melindungi masyarakat dari derasnya budaya instan dan algoritma tanpa arah moral.

Tamparan dari seorang Zuckerberg, Pada Januari 2024, dunia dikejutkan oleh permintaan maaf terbuka dari CEO Meta, Mark Zuckerberg, dalam sidang kongres Amerika Serikat. Ia mengakui bahwa platform seperti Facebook dan Instagram telah gagal melindungi generasi muda dari dampak negatif media sosial. Gangguan mental, tekanan sosial digital, hingga kasus bunuh diri menjadi konsekuensi nyata dari algoritma yang tak terkendali.

Apa yang terjadi di Amerika seharusnya menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Jika negara maju saja mulai mengevaluasi dampak etika dalam ruang digital, maka Indonesia—dengan budaya dan nilai luhur yang dimiliki—seharusnya lebih siap untuk membangun ruang digital yang sehat dan manusiawi.

Nilai Luhur yang Terlupakan, Indonesia sesungguhnya sudah punya pedoman paling lengkap untuk membangun ruang digital yang beradab: Pancasila. Lima prinsip dasar bangsa ini—Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan—adalah fondasi kuat dalam menghadapi tantangan dunia digital.
Bayangkan jika prinsip kemanusiaan dan keadaban benar-benar diterapkan dalam aktivitas bermedia sosial. Tak akan ada ujaran kebencian, karena kita menjunjung rasa hormat. Tak akan ada polarisasi, karena persatuan menjadi nafas utama. Tak akan ada hoaks, karena kebenaran dan kebijaksanaan adalah pedoman.

Namun realitasnya, PANCASILA hanya menjadi hafalan di sekolah. Ia belum menjadi nilai yang hidup dan membentuk perilaku digital masyarakat. Bahkan, konten-konten yang bertentangan dengan sila kedua dan ketiga justru sering mendapat tempat istimewa dalam algoritma.

Kita belum benar-benar memiliki identitas digital sebagai bangsa. Kita hadir di media sosial, tapi tidak dengan nilai yang membedakan kita dari bangsa lain. Tanpa etika yang berpijak pada budaya dan ideologi bangsa, kita hanya menjadi bagian dari arus global yang tidak punya arah. Sudah saatnya negara hadir bukan hanya dengan regulasi yang membatasi, tapi juga membina. Pendidikan dan media perlu bekerja sama menanamkan kesadaran digital yang berakar pada karakter dan nilai-nilai luhur bangsa.

Kesimpulan: Pancasila Adalah Jawaban untuk Dunia Digital
Pancasila bukan hanya warisan masa lalu. Ia adalah jawaban masa depan—sebuah sistem nilai yang visioner bahkan untuk era teknologi paling canggih sekalipun. Di saat dunia mulai mencari jalan menuju ruang digital yang lebih manusiawi, Indonesia sesungguhnya sudah memiliki solusinya.
Namun, jika kita terus menunda untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar perilaku digital, maka kita sendiri yang harus bertanggung jawab atas krisis karakter di ruang maya.
Indonesia punya modal besar. Jika Pancasila diterapkan secara nyata dalam dunia digital:
• Konten beretika akan lebih dihargai.
• Kreator akan diarahkan untuk menciptakan nilai, bukan sekadar sensasi.
• Generasi muda akan tumbuh dengan karakter kuat, bukan hanya viral sesaat.
Zuckerberg mungkin telah meminta maaf kepada dunia. Tapi kita, sebagai bangsa, perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kita sudah benar-benar menjadikan Pancasila sebagai kompas moral di dunia digital?
untuk itu televisiku.com hadir untuk membina dalam worksdop konten produksi untuk mengembalikan marwah bangsa yang sesungguhnya dengan mengedepankan lokal kontent budaya sebagai pemersatu dunia yang di balut Pancasila dan Kalimat kalimat yang terdapat dalam pembukaan UUD 45, jika bukan kita sekarang? siapa lagi… tunggulah kepunahan berbangsa.

literasi:
o We Are Social x Kepios x Hootsuite – Digital Report Indonesia 2024.
o APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) – Laporan Survei Internet Indonesia 2023.
o BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila): Buku Saku Pembumian Pancasila di Era Digital.
o Prof. Kaelan – Pancasila: Sebagai Ideologi dan Dasar Negara.
o Soekarno – Lahirnya Pancasila (Pidato 1 Juni 1945).
o Buku “Etika dan Media Sosial” – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
o Facebook Papers oleh whistleblower Frances Haugen (2021) – diungkap dalam investigasi Wall Street Journal.
o Laporan Instagram and Teen Mental Health – Internal Research Meta, dibocorkan tahun 2021.
o Laporan UNESCO: Disinformation and Social Media (2022).
o Pew Research Center: Teens, Social Media and Mental Health (2022–2023).
o Kominfo Indonesia: Statistik dan laporan konten negatif (tiap tahun).

Comments are closed