Harga dari revolusi digital bukan hanya sekadar perubahan format tayangan. Ini adalah gelombang besar yang mengguncang fondasi industri televisi swasta di Indonesia.
Kemajuan teknologi dan ledakan media sosial telah mengubah cara publik mengakses informasi dan hiburan. Dahulu, televisi adalah jendela utama dunia—kini peran itu diambil alih oleh layar-layar kecil di tangan kita: ponsel pintar.
Algoritma media sosial memberikan informasi instan, hiburan cepat, dan konten yang dipersonalisasi. Sementara itu, televisi sering kali dinilai lambat, terlalu formal, dan kurang responsif terhadap trend. Ditambah lagi, generasi muda lebih memilih TikTok, YouTube, dan Instagram dibanding menonton siaran berita atau program talkshow di TV yang dianggap terlalu kaku dan panjang.
Akibatnya, rating menurun, iklan beralih ke platform digital, dan perusahaan media kehilangan sumber pendapatan utamanya. Dan ketika perusahaan memangkas biaya untuk bertahan, yang pertama kali jadi korban adalah para pekerja di balik layar—awak media, jurnalis, crew teknis,PROGRAM DIRECTOR produser, editor, dan banyak lainnya.
Mereka yang dulunya jadi tulang punggung penyampai informasi kini harus mengemasi mimpi-mimpinya dalam surat PHK.
Revolusi digital memang tak bisa dibendung. Tapi, mengorbankan para pekerja media tanpa transisi yang adil dan sistem perlindungan yang kuat hanya akan membuat bangsa ini kehilangan lebih dari sekadar saluran TELEVISI kita kehilangan suara, kejujuran, dan jendela realita itu sendiri.
Di negeri yang katanya demokratis, suara justru perlahan-lahan dibungkam bukan dengan larangan, tapi dengan pengangguran.
PHK massal awak media televisi yang belakangan terjadi di Indonesia bukan sekadar peristiwa bisnis. Ini adalah luka dalam dunia jurnalisme. Di balik layar yang kita tonton setiap hari, ada para crew, jurnalis, kameramen, editor, kru teknis—orang-orang yang bekerja tanpa lelah agar bangsa bisa melihat dirinya sendiri. Dan kini, satu per satu dari mereka dipaksa diam, pulang dengan tangan kosong, dan masa depan yang remang-remang.
Tak Ada Lagi Mikrofon untuk Rakyat Kecil Yang lebih menyakitkan, PHK ini terjadi justru saat rakyat kecil paling butuh suara. Ketika pungutan makin mencekik, BPJS tak bisa diakses, harga bahan pokok melonjak, dan lapangan kerja makin sempit—siapa yang akan menyuarakan keluh kesah mereka jika para jurnalis tak lagi punya ruang untuk bicara?
Para pekerja media bukan sekadar profesi. Mereka adalah saksi zaman. Mereka adalah jembatan antara jeritan rakyat dan telinga kekuasaan. Dan kini, jembatan itu perlahan reot, tinggal menunggu waktu Putus, dan penggunanya hanyut terbawa air sungai yang deras.
Beban Ganda di Tengah Gejolak Ekonomi,PHK massal ini bukan hanya soal kehilangan gaji. Ini tentang runtuhnya harga diri seorang pekerja, tentang orang tua yang tak bisa menjawab pertanyaan anaknya: “Kenapa Ayah di rumah terus?”
Ironisnya, banyak dari awak media yang di-PHK dulunya adalah orang-orang yang justru mengangkat isu kemiskinan, ketimpangan, dan perjuangan rakyat kecil. Kini, mereka sendiri jadi bagian dari statistik yang dulu mereka laporkan: pengangguran.
Apakah Ini Harga dari Revolusi Digital?
Mereka bilang, ini semua akibat pergeseran teknologi—TV mulai ditinggalkan, digital mengambil alih. Tapi benarkah teknologi satu-satunya alasan?
• Apakah pemerintah sudah benar-benar siap menyambut era digital?
• Ataukah ada kesalahan kebijakan, salah urus, lebih mementingkan untung jangka pendek? Atau ASO ( analog Switch Off )
Sementara itu, rakyat yang dulu bersandar pada TV untuk informasi yang bisa dipertanggung jawabkan karena selalu diatur oleh (P3SPS)Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Ini adalah panduan dan standar yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengatur kegiatan penyiaran di Indonesia, serta Kaidah jurnalistik adalah prinsip atau aturan yang mendasari praktik jurnalistik, mencakup proses, teknik, dan etika dalam penulisan berita. Berita yang baik harus memenuhi kaidah jurnalistik, yang meliputi penggunaan unsur 5W+1H (apa, kapan, di mana, siapa, mengapa, bagaimana), serta prinsip etika seperti independensi, keakuratan, dan profesionalitas. kini ditinggal dengan algoritma, monetize dan iklan palsu. Demokrasi informasi mulai keropos, tunggu berkarat totalnya….
harapan bersama, Kita Butuh Media yang Hidup, dan Pekerja Media yang Dihargai Kalau negara ingin maju, tapi serius ingin maju? jangan diamkan suara-suara jujur yang tersingkir. Jangan biarkan jurnalisme hanya menjadi kenangan di tengah banjir konten kosong. Bangsa ini butuh storyteller yang jujur, dan butuh sistem yang tidak membuang mereka begitu saja saat anggaran menipis.
Karena ketika jurnalis dan crew media TV dibungkam dengan PHK, bukan hanya mereka yang kalah—tapi kita semua.
pertanyaanya siapa yang salah?
https://linktr.ee/televisiku
Comments are closed